Language

Berbagi Cerita Bersama Maya Safira, Alumni Hochschule Bremen Peraih Beasiswa DAAD

Last updated on 29 Mar 2024
Berbagi Cerita Bersama Maya Safira, Alumni Hochschule Bremen Peraih Beasiswa DAAD

4797DE37-1A54-4BCB-B8AF-B6A8D449D4FA.JPG

Oleh Erzawansyah


Bermimpi Melanjutkan Studi ke Eropa? Jangan lewatkan EHEF 2018, pameran pendidikan tinggi Eropa terbesar di Indonesia yang paling dinanti-nanti. Segera daftarkan dirimu sebagai peserta dalam perhelatan akbar EHEF 2018 secara GRATIS di sini.


Kamu boleh saja mendapat musibah, tapi jangan sampai lupa menatap masa depan.

“No matter what happens, life must go on!”

Begitu ujar Maya Safira, salah seorang penerima beasiswa DAAD dari Indonesia, mewakili sekelumit kisah tentang perjuangannya meraih kesuksesan.

Ia adalah alumni Hochschule Bremen yang juga berhasil meraih DAAD-Aceh Scholarship of Excellence. Kini, ia bekerja sebagai Platform and Stakeholder Engagement Specialist di United Nations Development Programme (UNDP).

Maya, begitu panggilannya, merupakan wanita kelahiran Aceh. Ia punya pembawaan diri yang menyenangkan, mudah mencairkan suasana, dan cukup seru untuk diajak berbincang-bincang. Dengan keceriaan yang ia tunjukkan saat ini, barangkali tak akan ada yang mengira bahwa Maya menyimpan segudang kisah tentang kehidupan dan perjuangannya meraih kesuksesannya.

Jauh sebelum Maya menjadi seperti dirinya yang sekarang, ia pernah menyintas bencana Tsunami yang melanda Aceh, 26 Desember 2004 silam.

Kala itu, Maya masih menyandang status mahasiswi di jurusan Komunikasi Bisnis, The London School of Public Relations, Jakarta dan sedang berjuang menyelesaikan skripsinya. Menjelang liburan akhir tahun 2004, ia menyempatkan diri untuk pulang ke kampung halaman di Aceh. Tepat saat itu juga, ketika ia berada di sana, gempa bumi dan tsunami melanda.

Panik? Tentu saja.

Bencana yang memakan ratusan ribu korban jiwa itu sudah pasti membuat para penyintasnya merasa panik. Kendati begitu, bukan berarti mereka harus terhanyut dalam kesedihan yang berlarut. Begitu juga dengan Maya, mewarisi mental survival yang dimiliki oleh masyarakat Aceh pada umumnya, Maya terus berjuang untuk memperbaiki kehidupannya.

I was very shocked and devastated,” katanya. “Tapi saya tidak mau berlama-lama berada dalam kondisi seperti itu,” lanjut Maya. Setelah fase quick response atas Tsunami yang melanda Aceh berakhir, ia kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan skripsinya.

Pertengahan tahun 2015, tatkala Maya telah meraih gelar sarjana dari kampusnya, ia kembali ke Aceh. Pada masa itu, Aceh sedang memasuki fase rehabilitasi. Terdapat banyak peluang pekerjaan untuk membangun Aceh kembali. Maya tak bisa tinggal diam. Berbekal ilmu dan gelar yang ia dapat di The London School of Public Relations, Maya memilih untuk terjun ke dunia kerja yang berhubungan dengan proses rehabilitasi dan pembangunan kampung halamannya.

Karirnya dimulai dengan menjadi penerjemah bagi jurnalis internasional yang membutuhkan informasi dari para penduduk lokal. Kemudian, selama beberapa bulan, ia juga memutuskan untuk menjadi relawan dalam sebuah organisasi internasional kemanusiaan. Hingga pada akhirnya, Maya bergabung dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam (BRR NAD).

Saya cukup lama aktif di BRR, sampai akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan studi ke jenjang selanjutnya,” ujar Maya. Ya, setelah Maya mendaftar dan dipastikan memperoleh beasiswa, ia resign dari BRR pada akhir 2008 dan langsung karantina untuk mempersiapkan beasiswanya. Disinilah awal mula pengalamannya berjuang melanjutkan studi ke Jerman.


Untuk informasi lengkap mengenai kuliah di Jerman, klik di sini.


Memutuskan Untuk Melanjutkan Studi ke Jerman

Kesempatan untuk memperbaiki masa depan, tak boleh disia-siakan.

Waktu itu pengalaman kerja saya sudah 3 tahun dan saya sudah merasa cukup untuk melanjutkan kuliah lagi,” jelasnya. “Kebetulan,” ia melanjutkan, “saat itu Pemerintah Aceh bekerjasama dengan DAAD punya program beasiswa bagi putra-putri Aceh untuk melanjutkan studi ke Jerman, namanya DAAD-Aceh Scholarship for Excellence.

Mendengar informasi tersebut, antusiasmenya untuk melanjutkan studi ke jenjang S2 bertambah. Ia bergegas mempersiapkan diri dan keperluan-keperluan administrasi lain, dalam rangka meraih impiannya mendapatkan beasiswa tersebut.

Persiapan berkas administrasi untuk mengajukan beasiswa tersebut berlangsung cepat. Kurang lebih hanya dua minggu, tidak sampai satu bulan.

Semua itu bisa terjadi karena sejak ia mendapat informasi beasiswa Pemerintah Aceh - DAAD, Maya langsung menyiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk mengajukan beasiswa.

Dua bulan kemudian, kabar baik sampai ke telinganya. Dari ribuan pendaftar, ia lolos seleksi administrasi. Maya merupakan satu dari 60 mahasiswa yang lolos pada seleksi tahap pertama. Maya dikirim ke Malaysia beserta 59 peserta lainnya. Di sana, selama enam bulan, Maya tinggal di karantina untuk menjalani pelatihan bahasa.

Hal itu sangat menyenangkan, sekaligus mengejutkan. Saya bersyukur, bisa menjadi satu dari 60 peserta yang lolos seleksi. Apalagi, jumlah pendaftar beasiswanya waktu itu mencapai ribuan,” kata wanita yang kini bekerja sebagai Platform & Stakeholder Engagement Specialist di The United Nations Development Programme (UNDP).


Baca juga: Tips Mendapatkan Nilai Bagus Dalam Ujian TOEFL/IELTS


Menjalani Karantina di Malaysia

Perjuangan Maya belum berhenti sampai disitu.

Dari 60 peserta, hanya ada 30 peserta yang bisa lolos dan melanjutkan studi ke perguruan tinggi pilihannya di Jerman.

Selama berada di Malaysia, ia menjalani pelatihan Bahasa Jerman dan IELTS selama total enam bulan. Iya, IELTS.

Meskipun destinasi negaranya adalah Jerman, IELTS menjadi salah satu faktor yang menentukan dalam penerimaan LoA.

Walaupun dalam praktik pelatihannya, porsi belajar Bahasa Jerman dua kali lebih banyak daripada porsi belajar IELTS.

Ia cukup bersyukur, karena selama menjalani pendidikan bahasa Jerman dan IELTS, ia merupakan salah satu peserta terbaik di angkatannya. Maya adalah salah satu satu yang mendapatkan nilai tertinggi, di antara nilai-nilai peserta seangkatan yang lain. Suatu hal yang cukup membanggakan, baginya.

Selain menjalani pendidikan bahasa, selama masa karantina di Malaysia juga peserta harus berusaha mendapatkan LoA (Letter of Acceptance) dari perguruan tinggi pilihannya di Jerman, sekaligus menjalani interview dari pihak DAAD.

Ada dua perguruan tinggi yang menjadi tujuannya saat itu. Salah satu perguruan tinggi tersebut adalah Hochschule Bremen atau dalam nama Inggrisnya, Bremen University of Applied Science. “Saya memilih perguruan tinggi tersebut karena di sana terdapat jurusan Master of Business Administration (MBA) yang dikemas dengan international tourism development, sesuai keahlian yang dibutuhkan pemerintah Aceh saat itu,” urainya.


Universitas populer di Jerman: Hochschule Bremen


LoA berhasil ia dapat. Namun perjuangan masih belum berakhir. Karena ada tahap yang paling menentukan, yaitu interview.

Menurutnya, interview pada proses seleksi program beasiswa DAAD adalah interview hal paling sulit dibandingkan interview lain yang pernah ia jalani.

Aku udah sering interview kerja, tapi sejujurnya tidak ada interview sesulit yang dilakukan oleh DAAD,” katanya. Ia menjelaskan bahwa dalam interview tersebut, peserta harus benar-benar mampu menguraikan motivasi, pemikiran dan gagasan mereka secara jelas dan terperinci.

Para interviewer tidak akan segan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis seputar alasan dan rencana peserta selama dan setelah menjalankan studi di Jerman nantinya. Bila tak bisa menguraikannya dengan jelas, tentu risikonya adalah berkurangnya nilai peserta di mata interviewer.

Maya sendiri punya cara yang unik dalam melatih diri untuk menghadapi scholarship interview-nya. Ia mengajak temannya untuk membuat daftar pertanyaan dan membuat Frequently Asked Questions (F.A.Q).

Kemudian ia meminta temannya tersebut untuk melakukan simulasi kecil-kecilan. Dimana temannya akan berperan sebagai interviewer yang sedang mengajukan pertanyaan kepada Maya dan Maya akan menjawab pertanyaan tersebut seserius mungkin. Simulasi itu mereka lakukan secara bergantian.

Jadi waktu itu, di Malaysia, usai kelas pelatihan hampir setiap hari kami akan pergi ke sebuah kedai kopi dan melakukan simulasi tersebut,” jelasnya.

Dan satu hal lagi,” Maya melanjutkan, “Sebagian besar pertanyaan yang diberikan juga tidak lepas dari motivation letter yang kita ajukan,” tegasnya. Untuk itu, memahami betul tentang apa yang kita tulis dalam motivation letter adalah hal wajib untuk dilakukan.

Singkat cerita, Maya lulus dan menjadi satu dari 30 peserta yang berhasil meraih beasiswa untuk kuliah di perguruan tinggi pilihannya di Jerman.

Tahap selanjutnya adalah pematangan bahasa Jerman dan adaptasi budaya di salah satu kota di Jerman, Marburg. Selama dua bulan, ia melakukan pemantapan bahasa di Marburg University, bersama 30 peserta lainnya.


Dapatkan Panduan Lengkap Belajar Bahasa Jerman di sini!


DSC07336.JPG

Belajar Bahasa Jerman

Bahasa Jerman bukan bahasa yang mudah untuk dipelajari.

Gender dalam setiap kata, serta kategorisasi dan struktur bahasanya, merupakan sesuatu yang perlu dipelajari dengan serius. Hal ini pun diakui oleh Maya. Meski begitu, bukan berarti Bahasa Jerman itu mustahil dipelajari oleh orang Indonesia. Apalagi, pengucapan/artikulasi bahasa Jerman hampir sama dengan Bahasa Indonesia.

Jadi, sangat memungkinkan bagi orang Indonesia untuk menguasai Bahasa Jerman.

Maya sendiri punya cara yang unik dalam memelajari Bahasa Jerman, yang barangkali bisa menjadi inspirasi buat mereka yang juga ingin melanjutkan studi ke Jerman.

“Pertama, Perbanyak Kosakata”

Iya, Kosa kata.

Maya mengatakan bahwa memperkaya kosakata adalah hal wajib bagi setiap orang yang sedang belajar sebuah bahasa. Terlepas dari bahasa Jerman, atau bukan.

Akan tetapi, dalam konteks Belajar Bahasa Jerman, memperkaya kosakata juga menambah wawasan mengenai gender dalam sebuah kata. Hal ini akan mempermudah kita dalam memelajari kategorisasi dan struktur dalam bahasa Jerman.

“Kedua, Jangan Takut Bicara Pakai Bahasa Jerman”

Ada hal yang ia pelajari, selama menjalani kuliah di Jerman. “Kebanyakan orang Afrika lebih unggul daripada orang Indonesia, dalam hal speaking,” katanya.

Pada nilai-nilai ujian, kata Maya, nilai mahasiswa internasional yang berasal dari Afrika memang tidak jauh lebih tinggi daripada orang Indonesia, atau umumnya Asia. Akan tetapi, dalam konteks berbicara menggunakan Bahasa Jerman, mahasiswa Afrika jauh lebih unggul.

Kenapa?

Maya mengatakan, orang Afrika berani untuk berbicara menggunakan bahasa Jerman. Mereka tidak takut salah. Sementara orang Indonesia atau Asia, terlalu takut dan khawatir kalau-kalau bahasa Jerman yang ia gunakan salah.

Menurutnya ini menghambat proses belajar orang-orang Indonesia dalam menggunakan Bahasa Jerman. “Padahal, kalau salah tidak masalah. Karena toh, mereka (orang Jerman) juga dapat memakluminya,” tegas Maya.

“Ketiga, Groceries”

Sambil sedikit tertawa, Maya mengatakan bahwa ini adalah caranya yang paling unik dan menyenangkan untuk belajar Bahasa Jerman.

Iya, saya kan orangnya suka pergi ke supermarket. Jadi, disana saya suka melihat-lihat dan membaca penjelasan yang ada di kemasan produknya,” kata Maya. Melalui cara itu, Maya dapat belanja sekaligus belajar memahami tata cara penulisan Bahasa Jerman.

Selain itu, dengan berkunjung ke sana Maya juga punya kesempatan untuk berbincang-bincang dengan orang-orang. Salah satu yang paling ia sering ajak bicara adalah kasir di supermarket.

Ia menjelaskan, bahwa struktur kalimat dalam bahasa Jerman tidak seperti bahasa pada umumnya. Dimana kata kerja ditempatkan di akhir kalimat. Sehingga, jika tidak mendengarkan orang Jerman berbicara sampai selesai, kerap kali kita akan sulit memahami apa yang ia maksud.

Untuk itulah, mengapa ia senang mengajak bicara orang Jerman. “Mereka memang individualis, tapi mereka juga senang diajak bicara kok,” ujar Maya, sambil meyakinkan bahwa tidak perlu takut salah apabila sedang mengajak bicara orang Jerman.

DSC07470.JPG

Education Values

Perguruan tinggi di Jerman menuntut Maya berpikir lebih analitis dan sistematis.

Ada satu momen paling berkesan yang pernah dialami Maya. Momen tersebut adalah titik balik dalam kehidupan Maya selama ia mengenyam pendidikan di Jerman.

Momen tersebut adalah momen dimana untuk pertama kalinya, ia mendapatkan tugas dari seorang dosen untuk membuat sebuah makalah.

Ketika itu, Maya mengumpulkan tugasnya ke dosen itu. Tak lama kemudian, ia dipanggil oleh dosen tersebut untuk menghadap. Sang dosen mengomentari tugas yang dikumpulkan oleh Maya.

“Maya, saya tahu sebenarnya kemampuan kamu bisa mengerjakan tugas yang lebih baik daripada ini,” ujar Maya menirukan sang dosen.

“Memang apa yang salah,” responnya, mencoba untuk mencari tahu apa yang dimaksud oleh dosennya tersebut.

“Tugas ini belum kamu uraikan secara mendalam,” tanggap sang dosen.

Mendengar jawaban sang dosen, Maya kemudian berpikir ulang dan akhirnya memahami, bahwa dalam tugasnya belum terkandung gagasan yang mendalam.

Kuncinya adalah critical dan analytical thinking.

Maya akui bahwa di Indonesia, critical dan analytical thinking tidak dibiasakan. Kebanyakan pelajar di Indonesia, berpikir hanya sebatas permukaan. Padahal, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas dan mendasar, kedua hal tersebut harus bisa digunakan sebaik mungkin.

Ia mencontohkan, apabila diminta untuk menguraikan bagaimana caranya mengatasi persoalan kapasitas pengunjung dalam dunia pariwisata. Jawaban yang hanya sebatas berada di permukaan, akan menyebut bahwa membuat regulasi dan program-program pembatasan pengunjung, merupakan solusi atas masalah. Jawaban tersebut tidak sepenuhnya salah. Hanya saja, masih banyak hal yang bisa diungkap daripada sebatas pembuatan dan perumusan kebijakan atau program.

Elaborasi topik penyelesaian masalah menggunakan critical dan analytical thinking dapat dilakukan dengan meninjau kembali persoalan tersebut, melalui pertanyaan-pertanyaan kritis.

Apa dampak lingkungan dari kebijakan tersebut?

Bagaimana jika ada kondisi darurat?

Adakah alternatif lain bila terdapat kondisi-kondisi yang tidak terduga?

Adalah sedikit dari pertanyaan-pertanyaan yang bisa diajukan untuk memperkaya pembahasan dari masalah yang sedang kita bahas.

Maya pun mencoba menggunakan cara seperti itu untuk mengerjakan kembali tugas dari dosennya. Hasilnya, dosen Maya puas dengan tugas yang ia kerjakan. “This is what I want, Maya,” sontak Maya, menirukan dosennya. Kemudian, ia mendapatkan nilai sempurna dari tugas tersebut.

Terlepas dari pengalamannya itu, Maya juga merasakan hal-hal yang cukup signifikan, khususnya dalam konteks kebudayaan dan kehidupan sehari-hari di kampus. Namun begitu, baginya hal tersebut bukan alasan untuk dia menyerah. Justru ia memandangnya dengan positif.

Yaitu, sebagai tantangan baginya saat menjalani studi di Jerman.

Maya berkata, bahwa Jerman sangat disiplin dalam segala hal. Apalagi, dalam urusan waktu.

Mereka sangat menghargai waktu dan tak suka, bila waktunya terganggu.

Oleh karena itulah, apabila membuat janji bertemu dengan dosen atau professor di kampus bahkan dengan teman sekelas sekalipun, Maya harus bisa tepat waktu. Karena bila tidak, bisa-bisa mereka malah tidak menyukainya. Kedisiplinan inilah yang dianggap Maya sangat kental dalam kehidupan sehari-hari di Jerman, termasuk dalam dunia pendidikan.

Orang Jerman juga “Blak-Blakan” dalam Berkata dan Bertindak.

Oleh karena itulah, Maya berkata bahwa orang Indonesia perlu memiliki mental yang kuat untuk hidup di Jerman. Mereka tidak akan berlagak manis dan penuh basa-basi, apabila tidak menyukai sesuatu. Apalagi sebaliknya.

Hal ini juga berlaku pada dunia pendidikan di sana. Para dosen tidak akan segan untuk memberikan kritik pedas kepada mahasiswanya apabila memang ada sesuatu yang perlu diperbaiki. Mental yang lemah dan mudah “terjatuh” hanya akan menghambat proses belajar di Jerman.

Terakhir, Orang Jerman Cenderung Individualis.

Hal ini nampaknya sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat di Benua Biru. Akan tetapi, Maya justru menegaskan bahwa meskipun individualis, bukan berarti mereka tidak ramah. Orang-orang Jerman sangat senang bila diajak bicara.

Oleh karena itulah ia mengatakan sangat rugi apabila ketika kuliah di sana, kita tidak mencoba untuk bergaul dengan mereka dan hanya berkelompok dengan orang-orang dari asal yang sama, yaitu Indonesia. Selain mempersempit pergaulan, hal tersebut juga menghilangkan kesempatan bagi kita untuk beradaptasi dengan budaya dan bahasa Jerman.

Education values pada perguruan tinggi di Jerman juga tidak hanya berada di tingkat individual saja. Dalam konteks yang lebih luas, terdapat values yang sedikit-banyak berpengaruh pada kualitas pendidikannya. Misal, sistem pendidikan.

Sistem pendidikan di Jerman menetapkan standar yang universal dan berlaku pada seluruh perguruan tinggi di sana. Hal itu membuat negara ini tak ‘kenal’ dengan kesenjangan dalam urusan kualitas antar perguruan tinggi. Seluruh perguruan tinggi di Jerman memiliki kualitas yang sama. Jadi, baik itu di pelosok, maupun kota-kota besar, kualitas pendidikan tingginya sama.

Para mahasiswa, baik lokal maupun internasional, juga diberikan privilege yang cukup luas.

Misal dalan urusan transportasi. Hanya dengan menunjukkan kartu pelajar, para mahasiswa tidak perlu membayar biaya transportasi umum. Atau dalam urusan mencari pekerjaan. Mahasiswa di Jerman juga dapat bekerja secara part-time khususnya ketika akhir pekan atau masa libur kuliah, sesuai dengan ketentuan-ketentuan tertentu, seperti batas waktu (jam) maksimal kerja dalam satu hari. Hal ini menurut Maya, sangat membantu mahasiswa untuk dapat menambah dana untuk keperluan sehari-hari bahkan menabung, atau keperluan lainnya.

Dan hal yang paling mempermudah mahasiswa internasional adalah kebijakan Jerman yang membebaskan mahasiswa dari biaya pendidikan alias gratis.

Maya sendiri berkata bahwa memang terdapat biaya yang harus dikeluarkan oleh mahasiswa, tapi itu bukan untuk semacam SPP seperti di Indonesia. Melainkan untuk fasilitas-fasilitas penunjang mahasiswa untuk belajar, seperti buku, maupun operasional lain. Jumlahnya pun tak begitu besar. Hanya berkisar Rp 2 juta sampai Rp 3 juta untuk satu semester, atau bahkan setahun.

Angka yang dapat digolongkan cukup murah, untuk kualitas pendidikan setingkat Jerman. “Maka dari itu, saya setuju apabila kuliah di Jerman itu disebut gratis. Karena sekalipun ada biaya yang keluar, itu bukan sepenuhnya untuk biaya pendidikan seperti SPP,” kata Maya.

Meski begitu, Maya sendiri sadar bahwa saat ini pemerintah Jerman memiliki kebijakan yang sedikit berbeda. Karena alasan-alasan tertentu, saat ini terdapat beberapa perguruan tinggi di sana yang menerapkan sistem biaya pendidikan untuk mahasiswa internasional, walaupun jumlahnya tetap masih tergolong murah, apalagi dibandingkan dengan perguruan tinggi di Amerika, terutama untuk gelar MBA seperti yang Maya peroleh.

Terlepas dari apa yang sudah dijelaskan di atas, terdapat sebuah value yang membuat pengalaman Maya kuliah di Jerman semakin terasa membanggakan

Yaitu, kuliah di Jerman adalah suatu hal yang prestisius.

Tidak hanya bagi Indonesia. Di mata dunia, Jerman merupakan negara dengan kualitas pendidikan yang cukup diperhitungkan. Oleh karena itu, di negara manapun, lulusan dari perguruan tinggi di Jerman selalu dapat diperhitungkan. Hal ini telah dibuktikan oleh Maya sendiri.

Pengalaman kerja Maya, sudah terbilang cukup banyak. Ia telah meninggalkan jejak di banyak organisasi terutama dalam bidang international development. Bahkan, saat ini, ia bisa bekerja di UNDP, salah satu organisasi besar kelas dunia yang berada di naungan PBB. Maya pun kerap dipanggil untuk menjadi pembicara pada forum-forum besar. Hal tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya di Jerman. Meski tidak dapat dipungkiri pula, bahwa karakter dan kepribadian Maya yang pantang menyerah, juga punya andil besar di karirnya.


Dapatkan Panduan Lengkap Menulis Motivation Letter untuk Melanjutkan Studi Ke Eropa di sini!


Menulis Motivation Letter

Semua yang telah dialami Maya selama menjalankan studinya, tidak bisa lepas dari bagaimana motivation letter yang ia ajukan, baik kepada pihak DAAD sebagai penyelenggara program beasiswa, maupun Hochschule Bremen, perguruan tinggi tempatnya menjalankan studi.

Iya, sebagaimana telah diketahui, bahwa motivation letter merupakan hal penting dalam pengajuan program beasiswa. Karena biasanya, motivation letter merupakan gerbang bagi peserta untuk melangkah ke tahap selanjutnya.

Maya mengatakan, dalam menulis motivation letter, kita harus mengetahui ide besar/utama yang mau dituangkan ke dalam paragraf, perlu juga untuk membuat kerangka tulisan dan mengelaborasi gagasan utama di setiap paragraf. Selain itu, kita juga perlu menjaga alur tulisan, agar penjabaran pemikiran tetap sistematis, terstuktur dan memiliki argumen kuat di dalamnya.

Selain konten berkualitas, motivation letter juga membutuhkan tata cara penulisan Bahasa Inggris yang baik. Pada umumnya, sebagian besar masyarakat Indonesia hanya cakap dalam menggunakan Inggris untuk sekadar berbincang-bincang. Persoalannya penggunaan Bahasa Inggris untuk keperluan sehari-hari, berbeda dengan penggunaan Bahasa Inggris untuk kepentingan akademis.

Dimana pada motivation letter, penggunaan Bahasa Inggris yang cenderung scientific sangat diperhitungkan. “Oleh karena itu, Bahasa Inggrisnya harus sangat bagus, terutama dalam penggunaan tesaurus dan permainan kata-kata,” jelas Maya.

Dan yang pasti, ungkapnya, kita juga wajib melakukan proofreading setelah motivation letter selesai ditulis. Dari segi tata bahasa, bahkan sampai ke kontennya. Paling tidak, motivation letter kita dapat dibaca dan dikoreksi oleh orang yang pernah menjalani studi di luar negeri juga.

Penggunaan Bahasa Inggris yang salah itu biasa, tapi yang penting kita bisa tahu dimana letak kesalahannya. Makanya, proofreading penting dalam menulis motivation letter,” tegas Maya.


Begitulah sekelumit kisah tentang Maya yang dapat menjadi inspirasi bagi kamu yang ingin melanjutkan studi di Eropa. Tapi, tentunya bukan hanya pengalaman dan siasatnya menjalani kuliah di Jerman saja yang bisa dijadikan sebagai pelajaran.

Maya sendiri pun mengakui, pengalaman dan kesuksesan yang ia raih saat ini tidak terlepas dari mental pantang menyerah yang ia miliki. Menurutnya, tanpa mental tersebut mungkin ia tak bisa melangkah sejauh ini, sebagaimana yang ia telah lakukan sekarang.

Jadi, buat kamu yang memang punya mimpi untuk melanjutkan kuliah ke Eropa, berjuang dan pantang menyerah, adalah syarat untuk meraih semuanya. Seperti apa yang Maya pegang teguh hingga saat ini:

No matter what happens, life must go on! Tak peduli apapun halangan yang akan kamu hadapi, kamu harus selalu positif! ” pungkasnya.

Jadi, mari berjuang demi masa depan.

*Seluruh foto adalah dokumentasi pribadi dari Maya Safira.


Ingin kuliah di Jerman seperti Maya? Yuk persiapkan dirimu dengan datang ke EHEF Indonesia 2018 di mana akan ada perwakilan dari berbagai universitas Jerman yang siap menjawab pertanyaanmu. Daftarkan dirimu di sini!